Beranda | Artikel
Transaksi dan Rukunnya Menurut Islam
Rabu, 1 Juni 2022

Transaksi dan Rukunnya Menurut Islam.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Manusia telah mengenal akad transaksi sejak dahulu kala. Tidaklah aneh seorang mengikat dirinya dengan ikatan yang menuntut pelaksanaannya baik secara langsung pada waktu tersebut ata dimasa yang akan datang. Karena kehidupan sehari-hari seorang menuntut hal tersebut disebabkan keadaan setiap individu yang terikat dalam keanggotaan masyarakatnya secara sosial kemasyarakat.  

Namun belum diketahui secara pasti bagaimana munculnya pemikiran untuk mengadakan transaksi dan faktor apa yang mendorongnya kecuali hanya perkiraan semata. 

Sebagian pakar ekonomi memandang bahwa pertama dikenalnya hubungan transaksi ini adalah barter langsung. Seorang ketika butuh sesuatu maka ia menukar yang dimilikinya dengan kebutuhan yang ada di tangan saudaranya. Lalu lahirlah transaksi mengikat yang menjadi tanggung jawab pelaksanaannya di masa yang akan datang melalui pembayaran diyaat pembunuhan. Dahulu pembunuhan menyebabkan dendam yang menyeret dua keluarga besar berperang, kemudian dikenal adanya diyaat sebagai ganti dendam tersebut. Terkadang seorang tidak mampu membayar diyaat sendiri, lalu ia minta penangguhan untuk mengumpulkan harta dari keluarga dan kabilahnya. Untuk itu ia memberikan gadai (jaminan) (Aqsaaam al-Uquud filfiqh al- Islami Hanaan bintu Muhammad Husein Jastaniyah1/3).

Sebagian lainnya memandang sebab adanya akad transaksi adalah adanya pertengkaran antar dua orang dalam penetapan hukum, kemudian berubah menjadi konsep dasar akad transaksi dalam muamalat (Lihat al-madkhol al-fiqhi al-‘Am karya az-Zarqa’ 1/295-296).

Transaksi ini terus berkembang pada pergaulan manusia sesuai dengan keonsep pemikiran dan agama yang berkembang pada mereka, hingga datang islam membawa konsep akad transaksi yang indah dan istimewa.

Urgensi dan Pengertian Akad Transaksi

Urgensi akad transaksi dalam hubungan antar manusia.

Manusia secara tabiatnya membutuhkan orang yang memenuhi makan dan kebutuhannya sejak kelahiran hingga liang lahat. Setiap orang pasti butuh hidup bersama dengan orang disekelilingnya untuk memenuhi kebutuhannya.  Allah yang maha pengasih dan maha mengetahui memberikan anugerah kepada manusia dengan menciptakan alam semesta untuk mereka. Hal ini dijelaskan dalam ayat yang banyak dalam al-Qur`an, diantaranya:

 Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dan berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur.- Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.- (QS. 45:12-13)

Setiap orang mendapatkan rezeki dan bentuk kemudahan yang tidak sama dengan yang lainnya. Semua yang telah dimiliki seseorang terlarang bagi yang lainnya untuk mengambilnya kecuali dengan saling tukar.  Pertukaran tentunya melahirkan pergaulan dan kerjasama. Tidak ada hari tanpa akad transaksi sehingga islam mengatur dan memberikan kaedah dan ketentuan-ketentuan seputar pergaulan dan kerjasama memenuhi kebutuhan tersebut.  

Terkhusus dalam dunia pengelolaan dana (harta), akad atau transaksi itu menduduki posisi yang amat penting sekali. Karena transaksi itulah yang membatasi hubungan antara dua pihak yang terlibat dalam pengelolaan modal. Transaksi itu juga yang mengikat hubungan itu di masa sekarang dengan hubungan tersebut di masa akan datang. Karena dasar hubungan itu adalah penampakan sikap ridho dan pelaksanaan semua yang menjadi orientasi kedua transaktor (orang yang melakukan transaksi), yang dijelaskan dalam komitmen transaksionalnya, kecuali bila menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, atau mengandung unsur pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. Warisan ilmu fikih yang kita miliki memuat berbagai rincian dan penetapan dasar-dasar transaksi-transaksi tersebut sehingga dapat merealisasikan tujuannya, memenuhi kebutuhan umat pada saat yang sama, serta melahirkan bagi umat Islam beberapa kaidah dan persepsi untuk digunakan memoles kebutuhan moderen kita. 

Semakin jelas rincian dan kecermatan dalam membuat transaksi, semakin besar kemungkinan hilangnya konflik dan pertentangan antara kedua belah pihak di masa mendatang.

Seorang muslim tertantang untuk memberikan perhatian terhadap persoalan transaksi tersebut, dalam menyusun konsep dan manajemennya dari mula pertama, dan dalam menunaikan hak dan menjaga keuntungan transaksi itu hingga akhir masa transaksi. Ia lebih layak melakukan semua itu, karena ia membaca firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. ” (Al-Maa-idah : 1)

Oleh sebab itu, sangat perlu sekali keterangan jelas tentang hukum-hukum umum yang berkaitan dengan berbagai transaksi dan keterampilan yang berkaitan dengannya, serta berbagai pilihan yang relevan dengan proposal yang rinci yang dapat memenuhi kebutuhan pengembangan modal dalam kehidupan modern sekarang ini.

  1. Definisi Akad/Transaksi

Secara bahasa, kata “akad” berasal dari bahasa arab al-‘Aqd (العقد) yang digunakan untuk banyak arti, yang keseluruhannya kembali kepada bentuk ikatan atau penghubungan dua hal (Ikatan itu sendiri bisa berarti konkrit, dan itulah arti sebenarnya. Seperti dikatakan dalam bahasa Arab: “aqaddhul habl” (saya mengikat dengan tali), yakni saya buhul dan saya hubungkan antara dua ujungnya. Namun ikatan tersebut juga bias memiliki pengertian abstrak seperti ikatan jual beli misalnya. Dapat digunakan juga untuk hal yang diharuskan seseorang bagi dirinya sendiri seperti satu pekerjaan tertentu di masa mendatang. Seperti mengikat tekad pada diri sendiri untuk harus berhaji pada tahun ini).

Bila kita meneliti pernyataan dan pendapat ulama fikih seputar definisi akad transaksi, didapatkan adanya dua pengertian; umum dan khusus. Sementara akad menurut istilah yang bermakna umum adalah semua keterikatan yang sudah mengikat seorang manusia untuk melaksanakannya dan memunculkan adanya hukum syar’i (Aqsaam al-Uqud 1/43).

Pengertian ini mencakup dua hal:

  1. Semua akad yang mengikat adanya komitmen dari dua belah pihak seperti jual beli, sewa menyewa dan menikah serta yang sejenisnya.
  2. Semua akad yang hanya mengikat adanya komitmen dari satu pihak saja, seperti sumpah,nadzar, talak, hadiah, shadaqah dan lain-lainnya. 

Dengan pengertian umum ini para ahli tafsir menafsirkan akad yang ada dalam firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. ” (Al-Maa-idah : 1)

Dengan demikian Jual beli dan sejenisnya adalah akad atau transaksi. Setiap hal yang diharuskan seseorang bagi dirinya sendiri baik berupa nadzar, sumpah dan sejenisnya, disebut sebagai akad juga.

Tentang hal ini imam ibnul Arabi menyatakan: Ikatan transaksi (akad) kadang ada berhubungan dengan Allah, kadang dengan manusia dan kadang dengan lisan serta kadang dengan perbuatan (Ahkaam al-Qur`an 2/526).

Sedangkan syeikhulislam ibnu Taimiyah memasukkan pembebasan budak, akad wala’, ketaatan, nadzar dan sumpah dalam kategori akad. Bahkan beliau juga menyebut akad dalam masalah pedamaian antara kaum muslimin dan orang-orang kafir (Lihat al-Qawaaid an-Nuraniyah hlm 73). 

Pengertian umum untuk akad atau transaksi ini digunakan para ulama fikih ketika menjelaskan hukum-hukum umum pada akad .

Sedangkan pengertian khusus para ulama memberikan beragam definisi, namun mirip dalam lafazh dan pengertiannya, yaitu:

رَبْطُ إِيْجَابِ بِقَبُوْلٍ أَوْ مَا يَقُوْمُ مَقَامَهُمَا عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ

(Ikatan ijab dengan qabul atau yang menduduki posisinya secara syari’at) (Lihat at-ta’rifaat karya al-Jurjaani hlm 166).

Definisi dalam pengertian khusus inilah yang langsung terfahami sebagai pengertian akad dalam fikih muamalat maliyah.

Penjelasan definisi:

  1. Kata (رَبْطُ) adalah ikatan kuat yaitu satu sifat yang ada pada semua transaksi yang mengakibatkan adanya ijab dan qabul. Kata ini memuat semua ikatan baik yang bersifat materi atau non materi, baik yang disyariatkan maupun yang tidak disyariatkan. 
  2. Kata (إِيْجَاب) dalam bahasa Arab bermakna komitmen dan penetapan sedangkan dalam istilah ulama Hanafiyah adalah ucapan pertama yang berasal dari salah satu transaktor yang mengungkapkan keinginannya dalam membuat aktifitas (Lihat kitab Fathu  al-Qadir karya ibnu al-Humaam 6/248). Sedangkan menurut mayoritas ulama adalah sesuatu yang menunjukkan penyerahan kepemilikan dan sejenisnya (Lihat al-Mughni karya ibnu Qudamah 4/2 danSyarhu muntaha al-Iradaat 2/140). 
  3. Kata (قَبُوْل) dalam bahasa Arab bermakna pembenaran, penerimaan dan pengambilan (Almisbah al-Munir karya al-Fayumi hlm 186). Sedangkan dalam istilah ulama hanafiyah adalah ucapan kedua yang bersumber dari transaktor setelah ijaab untuk mengungkapkan keridhoan untuk menyempurnakan akad atau transaksi (Lihat fathu al-Qadir 6/248). Sedangkan menurut mayoritas ulama adalah sesuatu yang menunjukan penerimaan kepemilikan dan sejenisnya ( Mughni al-Muhtaaj karya asy-Syarbini 2/3 dan al-Mughni 4/2).

Kata ijab dan qabul ini mengeluarkan dari kandungan definisi semua ikatan materi (badan) dan semua aktifitas yang muncul dari kehendak satu orang saja, seperti talak, nadzar dan sumpah. 

  1. Kata-kata (مَا يَقُوْمُ مَقَامَهُمَا) masuk dengan batasan ini semua yang menduduki posisi lafazh dalam mengungkapkan kehendak transaktor, seperti saling memberi, isyarat, tulisan dan lain-lainnya. 
  2. Kata-kata (عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ) ini adalah batasan lainnya yang mengeluarkan semua ikatan ijab dan qabul yang tidak sesuai syari’at. 
  1. Rukun-rukun Akad/Transaksi

Sebelum pembahasan mengenai rukun akad, perlu diketahui pembahasan ini berkenaan langsung dengan akad atau transaksi dalam pengertian khusus bukan umum. Maksudnya hanya yang terjadi antara dua transaktor.

 Akad memiliki tiga rukun: Adanya dua orang yang saling terikat dengan akad (al-‘Aqidaan), adanya sesuatu yang diikat dengan akad (Mahalal-‘Aqd), serta pelafalan (shighah) akad/transaksi tersebut.

Yang pertama: Dua pihak yang saling terikat dengan akad (dua Transaktor).

Dua orang yang terikat dengan akad ini adalah dua orang yang secara langsung terlibat dalam transaksi. Kedua belah pihak dipersyaratkan harus memiliki kemampuan yang cukup untuk mengikuti proses transaksi, sehingga transaksi atau akad tersebut dianggap sah.  Kemampuan tersebut terbukti dengan beberapa hal berikut:

Pertama: Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk (Rasyiid). Yakni apabila pihak tersebut sudah akil baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah melakukan transaksi.

Kedua: Pilihan dan tidak ada paksaan. Tidak sah akad yang dilakukan orang di bawah paksaan, kalau paksaan itu terbukti.

Kemudian ketiga, akad itu dapat dianggap pasti berlaku bila tidak memiliki khiyar (hak pilih). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ‘Aib dan sejenisnya. 

Kedua: Sesuatu yang Diikat dengan Transaksi (Mahal al-Aqd/ al-ma’qud ‘alaihi).

Yang dimaksud dengan mahal al-Aqd atau al-Ma’qud ‘alaihi adalah yang diikat dengan transaksi, terkadang berupa harta benda berupa barang dan kadang non barang dan kadang juga berupa manfaat (jasa), misalnya barang yang dijual dalam transaksi jual beli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad penyewaan dan sejenisnya. 

Dalam hal itu juga ada beberapa persyaratan sehingga akad tersebut dianggap sah, yakni sebagai berikut:

  1. Mahal al-Aqd harus dapat ditransaksikan secara syariat. Maksudnya jangan sampai aktifitas terhadap barang tersebut menyelisihi syariat islam. Ini merupakan syarat yang disepakati para ulama fikih. Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid 2/166 menyatakan: adapun barang maka harus yang boleh diperjual belikan. -Hal ini telah dijelaskan dalam kitab al-Buyu’- sedangkan manfaat (jasa) harus dari jenis yang tidak dilarang oleh syariat. Disini ada beberapa masalah yang telah disepakati dan ada yang masih diperselisihkan. Diantara yang sudah disepakati (ijma’) adalah batalnya ijaarah semua manfaat (jasa) yang digunakan untuk sesuatu yang diharamkan dzatnya. Demikian juga semua manfaat (jasa) yang diharamkan oleh syariat, seperti upah menangisi jenazah dan upah para penyanyi. Berdasarkan hal ini, apabila mahal al-Aqd tidak bisa ditransasikan secara syariat,maka tidak sah akadnya. Dari sini akadnya menjadi batil dan itu tergantung pada akad yang terjadi. Misalnya pada akad Mu’awadhah (transaksi bisnis oriented) syarat ini menjadi satu kaedah umum apabila berupa barang yang bernilai dan dimiliki tanpa ada hubungan dengan hak wajib lainnya.  Tidak boleh melakukan transaksi pada barang-barang yang tidak bernilai dalam kebiasaan syariat. Berdasarkan hal ini para ulama melarang transaksi dalam bentuk-bentuk berikut ini:
  •   Apa bila Mahal al-Aqd nya adalah manusia yang merdeka, karena orang yang merdeka (non budak) bukanlah harta, sehingga tidak boleh diperjualbelikan dan tidak boleh juga dijadikan jaminan hutang (gadai).
  •   Apabila mahal al-Aqd (obyek transaksi) adalah barang najis, seperti bangkai, anjing dan babi. Juga disamakan hukumnya dengan hukum najis semua barang yang suci yang berubah menjadi najis yang tidak mungkin dapat disucikan kembali, seperti cuka, susu dan benda cair sejenis yang terkena najis. Namun kalau mungkin dibersihkan, boleh-boleh saja.
  •  Apabila objek transaksinya adalah barang yang tidak dapat dimanfaatkan, baik yang tidak dapat dimanfaatkan dalam bentuk nyata, seperti serangga atau tidak dapat dimanfaatkan karena dilarang syariat pemanfaatannya, seperti alat musik (Lihat al-majmu’ Syarhu al-Muhadzdzab karya imam an-Nawawi 9/238-240).

Karena fungsi legal dari satu komoditi menjadi dasar nilai dan harga komoditi tersebut. Segala komoditi yang tidak berguna seperti barang-barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. Atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang diharamkan, seperti minuman keras dan sejenisnya, semuanya itu tidak dapat diperjualbelikan (Yang perlu diingat di sini, bahwa satu barang dikatakan bermanfaat atau tidak, itu bisa berubah melalui perkembangan zaman. Sampah misalnya, dahulu dianggap sebagai barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. Namun dalam kehidupan modern kita sekarang ini, sampah dapat digunakan dalam produksi pupuk dan sejenisnya. Maka komoditi ini tidak lagi dianggap sebagai barang rongsokan).

Demikian juga obyek transaksi harus merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan transaksi penjualan. Tidak boleh memperjual belikan barang sebelum dimilikinya seperti burung diudara. Juga tidak boleh menjual barang milik umum, seperti jalanan dan pasar. 

Terakhir adalah obyek transaksi tersebut tidak berhubungan dengan hak wajib, baik yang berhubungan dengan Allah ataupun hak orang lain.  

Diantara contoh transaksi yang dapat menghilangkan hak Allah adalah jual beli masjid dan ka’bah.

Diantara contoh transaksi yang menghilangkan hak orang lain adalah menjual barang gadai sebelum selesai hutangnya dan menjual harta wakaf. 

  1.  Obyek transaksi harus ada ketika transaksi. 
  1. Obyek transaksi dapat diserah terimakan Tidak sah menjual barang yang tidak ada, atau ada tapi tidak bisa diserahterimakan. Karena yang demikian itu termasuk kamuflase harga, dan itu dilarang.
  2. Harus diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan transaksi bila merupakan barang-barang yang dijual langsung. Dan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan namun tidak berada di lokasi transaksi. Bila barang-barang itu dijual langsung, harus diketahui wujudnya, seperti mobil tertentu atau rumah tertentu dan sejenisnya. Namun kalau barang-barang itu hanya dalam kepemilikan seperti jual beli sekarang ini dalam transaksi jual beli As-Salm, di mana seorang pelanggan membeli barang yang diberi gambaran dan dalam kepemilikan penjual, maka disyaratkan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang melakukan jual beli As-Salm hendaknya ia menjual barangnya dalam satu takaran yang jelas atau timbangan yang jelas, dalam batas waktu yang jelas..” Nanti akan dijelaskan secara rinci. Kepastian akad tersebut ditentukan oleh tidak adanya hal yang menyebabkan munculnya pilihan lain, seperti terlihatnya cacat barang dan sejenisnya.

Ketiga: Pelafalan Transaksi (shighat al-Akad)

Yang dimaksudkan dengan pelafalan transaksi itu adalah ungkapan yang dilontarkan oleh orang yang bertransaksi untuk menunjukkan keinginannya yang mengesankan bahwa transaksi itu sudah berlangsung. Hal ini banyak para ulama menggunakan istilah serah terima (ijab-qabul).

Telah lalu dibahas bahwa Ijab (penyerahan barang) adalah yang diungkapkan lebih dahulu, dan qabul (penerimaan) diungkapkan kemudian. Ini adalah madzhab Hanafiyyah. Yang benar menurut mereka adalah ijab adalah yang diucapkan sebelum qabul, baik itu dari pihak pemilik barang atau pihak yang akan menjadi pemilik berikutnya.

Ijab menunjukkan penyerahan kepemilikan. Sementara qabul menunjukkan penerimaan kepemilikan. Ini adalah madzhab mayoritas ulama. Maka yang benar menurut mereka bahwa ijab itu harus diungkapkan oleh orang pemilik barang pertama, seperti penjual, pemberi sewa, wali calon isteri dan lain sebagainya. Dan yang benar menurut mereka qabul itu berasal dari orang yang akan menjadi pemilik kedua barang tersebut, seperti pembeli, penyewa, calon suami dan lain sebagainya. Jadi pemilik pertama yang mengucapkan ijab sementara calon pemilik kedua yang mengucapkan qabul. Tidak ada perbedaan bagi mereka, siapapun yang mengucapkan ungkapannya pertama kali dan siapa yang terakhir.

Shighat (pelafalan transaksi) dalam akad adalah semua yang menunjukkan keinginan melakukan transaksi dan keridhaan dari kedua pihak yang bertransaksi (Aqsaam al-Uqud 1/59).

 Lafazh dan ungkapan adalah pokok dalam mengungkapkan keinginan manusia. Sedang yang lainnya seperti isyarat, tulisan, surat dan saling member menggantikan posisi keduanya. Oleh karena itu shighat atau pelafalan transaksi ini dapat dilakukan dengan dua cara:

  1. Dengan shighah qauliyah (dengan ucapan) yang dinamakan dengan ijab Qabul. Ijaab adalah lafadz yang disampaikan pertama kali, seperti pembeli menyatakan: “ Saya beli barangnya dengan harga sekian rupiah”, atau penjual menyatakan: “Saya jual barang saya ini dengan harga sekian rupiah kontan”, sedangkan al-Qabul adalah lafadz yang keluar setelah ijab, seperti ucapan penjual atau pembeli : “Saya terima”. Ijab qabul ini dapat diwujudkan dengan tulisan atau utusan perwakilan. Apabila seorang menulis kepada pihak kedua lalu mengirimnya dengan faks atau mengirim orang untuk membawa faktur penjualan lalu pihak kedua menerimanya di majelis akad maka sah jual belinya. 

Syarat-syarat Pelafalan Akad secara Ijab Qabul. 

Disyaratkan dalam ijab qabul beberapa syarat diantaranya:

  1. Ijab harus sesuai dengan qabul (Lihat Raudhatuth-Thalibin karya imam an-Nawawi 3/342) dalam ukuran, kriteria, pembayaran dan temponya. Apabila penjual menyatakan : Saya jual rumah ini seharga 300 juta kalau pembeli menjawab: Saya terima penjualannya dengan harga 250 juta maka akad jual belinya tidak sah.

Apabila qabul menyelisihi kandungan ijab maka akad atau transaksinya tidak sah. Namun bila qabul menyelisihi ijaab yang berisi kemaslahatan bagi orang yang mengucapkan ijab maka para ulama mengesahkan transaksi tersebut. Misalnya: seorang wali mengucapkan ijab dengan menyatakan: “Saya nikahkan anak saya dengan mahar 50 ribu dolar”. Lalu sang mempelai lelaki menjawab dalam qabulnya: “Saya terima nikah nya anak bapak dengan mahar 100 ribu dolar”. Akad atau transaksi ini diterima karena menyangkut kemaslahatan pemberi ijab, bahkan ini lebih jelas dan gambling dalam menunjukkan keridhoannya.

  1. Bersambungnya Ijab qabul yang dapat diwujudkan dengan diadakan dalam satu majlis atau harus berada dalam satu lokasi. Karena ijab itu hanya bisa menjadi bagian dari transaksi bila ia bertemu langsung dengan qabul. Perlu dicatat, bahwa kesamaan lokasi tersebut disesuaikan dengan kondisi zaman. Transaksi itu bisa berlangsung melalui pesawat telepon. Dalam kondisi demikian, lokasi tersebut adalah masa berlangsungnya percakapan telepon. Selama percakapan itu masih berlangsung, dan line telepon masing tersambung, berarti kedua belah pihak masih berada dalam lokasi transaksi. Ada pengecualian atas syarat ini, karena adanya sebagian transaksi tidak bisa dan tidak menjadi syarat terjadinya qabul di satu majlis, diantaranya:
  • Akad al-washiyat (transaksi wasiat). Ijab dalam akad ini terjadi pada masa hidup orang yang berwasiat dan tidak dianggap qabul orang yang mendapatkan wasiat kecuali setelah kematian yang berwasiat. Tidak sah wasiat apabila diterima oleh yang menerima wasiat di majelis ijab atau setelahnya selama yang berwasiat masih hidup (Lihat al-Mughni 6/444).
  • Akad al-Washaayah  yaitu penugasan untuk beraktifitas setelah kematian seseorang dalam perkara yang ia boleh beraktifitas padanya, seperti menunaikan hutang, pengembalian barang simpanan. Orang yang diberi tugas dinamakan washiy. Dalam al-Washaayah ini tidak disyaratkan adanya qabul di majlis ijab, bahkan berlanjut masanya hingga setelah kematian. Tidak menjadi washiy kecuali setelah kematian orang yang memberikan tugas tersebut (Lihat al-Mughni 6/467).
  • Akad Wakalah. 
  1. Tidak terselingi jeda yang panjang yang menunjukkan ketidak inginan salah satu pihak.

Tidak adanya hal yang menunjukkan penolakan atau pemunduran diri dari pihak kedua merupakan syarat , Karena adanya hal itu membatalkan transaksi ijab. Kalau datang lagi penerimaan sesudah itu, sudah tidak ada gunanya lagi, karena tidak terkait lagi dengan ijab sebelumnya secara tegas sehingga transaksi bisa dilangsungkan.

  1. Kedua belah pihak mendengar ucapan ijab qabulnya. Apabila jual belinya menggunakan saksi maka pendengaran saksi cukup untuk mengesahkan jual beli tersebut.
  2. Hal yang menjadi penyebab terjadinya ijab harus tetap ada hingga terjadinya qabul dari pihak kedua yang ikut dalam transaksi. Kalau ijab itu ditarik oleh pihak pertama, lalu datang qabul, itu dianggap qabul tanpa ijab, dan itu tidak ada nilainya sama sekali.
  3.  Shighah al-Fi’liyah (dengan perbuatan) dinamakan juga al-Mu’athah (المعاطاة) yaitu ambil dan beri tanpa ucapan, seperti seorang pembeli membeli barang yang sudah jelas harganya lalu ia ambil barang dan serahkan uang pembayaran maka ia sudah memiliki barang tersebut setelah pembayaran. Ini banyak terjadi di Supermarket dan toko-toko di zaman ini. Demikian juga aktivitas jual beli via bursa efek, dimana akad transaksi terjadi dalam hitungan menit bahkan detik dengan aturan dan sistem yang telah disepakati perusahan dan orang-orang yang bertransaksi untuk menunjukkan keridhaan. Maka ini semua sah apabila sudah ada nota kesepakatan antara perusahaan yang terkait dengan penjual dan pembeli atas satu sistem yang mengungkapkan keridhaan semua pihak. Seperti nomor kartu visa via internet 

Demikian sebagian pembahasan tentang transaksi dan rukunnya dalam islam semoga bermanfaat.

Referensi

  1. Al-Mughni karya ibnu  Qudamah.
  2. Raudhatuth-Thalibin karya imam an-Nawawi
  3. al-majmu’ Syarhu al-Muhadzdzab karya imam an-Nawawi
  4. Aqsaaam al-Uquud filfqh al- islami hanaan bintu Muhammad Husein Jastaniyah
  5. Dll.

Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/7501-transaksi-dan-rukunnya-menurut-islam.html